Langsung ke konten utama

Rembulan Merenggut Hatimu




Rembulan Merenggut Hatimu


Tidak seperti biasanya, cahaya pagi yang menembus kaca jendela sungguh menusuk mataku. Cahaya yang membangunkanku dari tidur panjangku semalam. Segera aku beranjak dari tempatku berbaring namun tiba-tiba aku tertegun oleh sebuah foto yang berada di meja belajarku dan air mata tiba-tiba menggenang di wajahku. Lagi dan lagi air mata ini tak terbendung, sama seperti semalam, kemarin, dan minggu lalu.


Pagi ini aku bangun sedikit telat dari biasanya karena ini adalah hari libur dimana aku bisa beristirahat dan terbebas dari pekerjaanku sejenak. Aku mengendarai motor ke arah pantai untuk menenangkan pikiranku. Kuparkir motorku tak jauh dari tempatku berdiri, termenung. Entah kenapa dengan melihat pantai bebanku terasa berkurang. Suara ombak seakan-akan menjawab curhat dan tangisku.

Entah kenapa suara ombak dan hembusan angin pantai selalu melegakan hatiku. Mungkin karena mereka membantuku untuk melepaskan kerinduan ini. Kerinduan yang menguasai sepotong hatiku. Kerinduan yang telah membelenggu sisa-sisa kehidupanku.

Tiba-tiba bibir ini terucap lirih menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang tak asing bagiku. Yah lagu yang dulu sering kita nyanyikan bersama di pantai ini. Lagu yang melukiskan kenangan kita. Lagu yang menyatu dengan suara gemercik ombak.

Aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menyapu ombak dengan kakiku. Pagi itu pantai tidak terlihat ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang sedang berlarian di sekitar pantai dan beberapa lainnya duduk di bangku kayu yang tak jauh dari tepi pantai. Hari ini sedikit mendung dari biasanya.

Ketika aku berjalan menyusuri tepi pantai, aku melihat sebuah guratan kata yang terukir di atas pasir. Tulisan itu sebagiannya sudah tersapu oleh ombak namun sepertiya yang terukir di atas pasir tersebut adalah ‘my first love is’, lanjutan dari kalimat tersebut sepertiya sudah tersapu oleh ombak. Aku tersenyum kecil membacaya, sepertinya yang membuat tulisan itu adalah sepasang remaja yang kurang kerjaan.

Aku lalu berdiri terdiam, menatap pantai yang diselimuti oleh awan mendung. Membiarkan angin membawa anganku. First love? Cinta pertama? ah, apa arti dari itu semua. Tiba-tiba semburat wajah seorang lelaki melintas dipikiranku. Lukisan wajah itu semakin jelas dipikiranku. Aku tersenyum. Yah, engkau adalah cinta pertamaku.

Engkau adalah lelaki sederhana dengan tatapan lembut namun terlihat ketegasan dalam tatapanmu. Kau lelaki pertama dalam hidupku. Lelaki pertama yang mengajariku tentang kehidupan. Lelaki pertama yang memelukku dengan kehangatan dan membisikkan kata cinta ditelingaku. Lelaki pertama yang menggenggam tanganku erat dan memaksaku untuk tetap berdiri tegar ketika kelelahan menyelimutiku. Yah, engkau lelaki pertama yang melakukan itu semua.

Kau adalah cinta pertama dalam hidupku, walaupun aku tahu aku bukanlah cinta pertamamu. Selama bertahun-tahun kebersamaan kita, kau selalu menceritakan cinta pertamamu dengan raut wajah yang menunjukkan kebahagiaan. Bahkan ketika kita hanya jalan berdua engkau seakan tak pernah bosan bercerita tentang cinta pertamamu. Yah bercerita tentang istrimu kepadaku. Seakan cerita itu tak akan pernah berakhir keluar dari bibirmu. Seolah engkau sangat bahagia hidup bersama cinta pertamamu. Seolah dia adalah sepotong hati yang melengkapi potongan hatimu. Bagiku, melihatmu dengan tatapan penuh kehangatan merupakan hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku bahkan pernah iri dengan cinta pertamamu karena bisa membuat wajahmu terlihat hangat, penuh dengan cinta.

Engkau adalah cinta pertamaku dan entah kenapa melihatmu tertawa dan tersipu malu ketika engkau bercerita tentang apa yang engkau lakukan dengan cinta pertamamu, semua itu membuatku ikut merasa bahagia. Bahagia melihat cinta pertamaku bercerita dengan tatapan hangat kepadaku. Aku selalu berharap dapat melihat senyum dan tatapan hangat itu di wajahmu, di wajah cinta pertamaku.
     
Namun, semua itu tiba-tiba berubah. Senyum tersipu malu itu berubah menjadi kesedihan, tatapan hangat bagai rembulan itu berubah menjadi tatapan kosong dan dingin. Kau berubah.

Yah, hari itu adalah hari ulang tahun pernikahan kalian yang tak jauh dengan usiaku saat itu. Hari itu kau mengatakan kepadaku bahwa kau berniat memberi kejutan di ulang tahun pernikahan kalian yang ke 10. Hari itu kau meminta pendapatku dengan mata berbinar, mata yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Aku melihat wajahmu tersipu malu mengatakan semua rencanamu malam itu. Aku tersenyum mendengar rencanamu yang sedikit kekanak-kanakan. Sekali lagi aku tersenyum dan tertawa seraya menggodamu. Dan sekali lagi wajah itu memerah bagai mentari yang baru terbenam, tersipu malu.

Malam itu, ternyata langit memiliki rencana yang berbeda. Jauh berbeda dari yang engkau harapkan. Malam itu hujan turun dengan deras. Rembulan tertutup oleh awan hitam dan langit diiringi dengan cahaya dan suara petir yang menggelegar, hujan lebat.

Malam itu, kau telah merencanakan semuanya. Menyiapkan kue dan bunga di atas meja. Bahkan kau menyiapkan beberapa buah balon yang kau tiup sendiri. Ah, sungguh kekanak-kanakan cinta pertamaku ini, batinku. Namun sayang, malam itu cinta pertamamu harus kerja lembur dikarenakan kesibukan di kantor. Karena malam itu hujan turun dengan lebatnya, kau berencana menjemput sendiri cinta pertamamu, menyuruh supir untuk pulang lebih dulu.

Tepat jam 21.00 mobilmu telah sampai di depan kantornya. Pukul 21.15 istrimu keluar kantor seraya melambaikan tangannya padamu. Engkau lalu keluar dari mobil seraya membawa sebuah payung, menjemputnya masuk ke dalam mobilmu. Pukul 21.30 engkau meminta izin kepada istrimu untuk membeli maratabak manis kesukaanku, entah kenapa malam itu tiba-tiba engkau mengingatku.

Di malam yang setengah gelap tersebut, kau memarkir mobilmu dipinggir jalan seraya keluar dari mobil menggunakan payung menuju tempat penjual martabak yang jaraknya 10 meter dari mobilmu. Setelah selesai membayar, kau lalu mengangkat martabak manis di tanganmu, melambaikan tangan seraya tersenyum menghadap istrimu yang menunggumu di dalam mobil. Istrimu hanya tertawa kecil melihatmu.

Namun sekali lagi, langit memiliki ceritanya sendiri. Saat engkau bergegas kembali ke mobilmu dengan payung dan martabak di masing-masing kedua tanganmu, disaat istrimu tertawa melihatmu berlari seperti anak kecil. Disaat itulah, entah kenapa langit menentukan hal lain.

Malam itu, dimana penerangan jalan terlihat samar-samar dikarenakan hujan yang lebat. Malam itu, seorang supir truk pengantar barang mendapatkan kabar bahwa istrinya tengah melahirkan di rumah sakit. Tentulah malam itu dia berputar arah, terburu-buru mengendarai truknya ditengah derasnya hujan dan riuhnya suara petir yang menggelegar. Namun sayang, supir truk itu terlalu terburu-buru, bahkan terlampau terburu-buru. Saat petir menggelegar dengan kerasnya, supir truk itu tidak sengaja menabrak sebuah mobil yang sedang parkir di tepi jalan. Mobil itu terpental jauh ke depan hingga bermeter meter jauhnya dan truk terhenti menabrak sebuah pohon besar tak jauh dari sebuah ruko penjual martabak.

Malam itu, langkahmu terhenti mendengar suara yang amat dahsyat tersebut. Martabak itu jatuh dari tanganmu, basah oleh genangan air hujan, begitupun dengan payung, terlepas begitu saja dari genggamanmu. Matamu berkilauan ditetesi oleh air hujan yang lebat. Badanmu gemetar, jantungmu berdetak tak menentu, bibirmu terucap lirih, ingin berteriak namun kata itu tetap membisu di bibirmu. Kau berlari mendekati mobil tak berbentuk tersebut. Merah melekat, cairan itu terus keluar dari sela-sela mobil, badanmu semakin gemetar, kau mengais puing-puing kaca hancur itu, mencoba mengeluarkan cinta pertamamu dari puing-puing mobil.

Malam itu, aku tiba di rumah sakit, diantar oleh kakek dan nenek. Malam itu, aku melihatmu sedang terduduk di depan ruang operasi, bajumu bersimbah darah, merah menyala diantara baju biru kotak-kotak yang engkau kenakan. Aku berlari mendekatimu seraya memanggilmu, tak tahu apa yang terjadi. Apakah kau tahu, ketika aku berlari kearahmu, disaat itulah perasaanku seperti terkikis sangat dalam. Kau menatapku dengan tatapan mengiba, matamu menunjukkan luka besar dalam hatimu. Dengan tubuh yang bersimbah darah tersebut kau memelukku dengan erat, tubuhmu terasa bergetar hebat, air mata terus mengalir dari kedua matamu. Kakek dan nenek terlihat sangat terkejut mengetahui bahwa putrinya sedang dioperasi untuk mengeluarkan sisa-sisa pecahan kaca mobil yang tertancap di tubuhnya, putrinya sekarat.

Pelukanmu waktu itu membuatku terisak, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Saat itu hanya satu kalimat yang terus terucap lirih dibibirmu,
“Ya Allah, tolong selamatkan dia. Aku mohon”. Kalimat itu terus terucap, berulang dibibirmu.  Selama 8 tahun bersamamu, di malam itu, pertama kalinya aku melihatmu dengan raut wajah penuh ketakutan, tatapan mengiba itu tak pernah hilang dari bayanganku. Malam itu, aku sangat sedih dengan apa yang terjadi dengan cinta pertamamu, namun hatiku lebih sedih ketika melihatmu dengan tatapan rapuh, bahkan kau tak memperdulikan luka di kedua tanganmu, tak memperdulikan darah yang mengalir dari luka itu, luka yang sepertinya kau dapat ketika mengeluarkan istrimu dari puing-puing mobil tersebut.

Malam itu, seakan langit memperjelas semuanya. Hujan deras tiba-tiba terhenti, petir berhenti menggelegar, dan rembulan seakan muncul kembali dari balik awan. Malam itu rembulan tampak indah. Bahkan anak-anak dan orang dewasa keluar dari tempat berteduh hanya untuk melihat indahnya cahaya rembulan malam itu, bersuka cita.

Keadaan dilangit seakan berbalik dengan keadaan di dalam rumah sakit. Tepat dua jam setelah  menunggu, dokter keluar dari ruangan operasi dengan muka tertunduk lesu. Kau berdiri, menatap dokter tersebut dengan wajah mengiba, berharap dokter memberi kabar baik. Dokter itu menunduk, menggeleng. Air mata yang engkau tahan seluruhnya tumpah dimatamu, kakimu kaku terjatuh, berlutut di depan ruang operasi. Menatapku dengan tatapan pilu, bahkan sangat pilu. Aku menangis, terisak memelukmu. Begitupun dengan kakek dan nenek. Malam itu, seakan rembulan menjadi saksi atas hilangnya orang yang berarti bagi kita, ya cinta pertamamu.
***


Setelah proses pemakaman, kau mengurung diri di dalam rumah, tak tertarik untuk melakukan kegiatan apapun. Bahkan kau enggan mengajakku berbicara ketika melihatku. Disaat itulah aku merasakan sesuatu hal berubah padamu. Tatapan hangat itu berubah menjadi tatapan kosong, memilukan.

Tak ada lagi senyum, tak ada lagi tatapan hangat bagai rembulan di wajahmu. Kau berubah menjadi orang yang berbeda, sangat dingin.

Aku tahu kenanganmu bersama cinta pertamamu tentu tak bisa terhapus begitu saja. Luka itu tak mungkin tertutup begitu saja. Namun apakah kau tahu sikapmu itu malah membuat lukamu semakin besar, namun kau tetap membiarkan luka itu tak terobati. Seolah tak ada lagi obat yang bisa menyembuhkan lukamu.

Aku sedih ketika harus kehilangan ibu, namun melihatmu terus menyalahkan dirimu sendiri atas kejadian tersebut sangat membuat hatiku pilu. Entah kenapa diumurku yang hanya beberapa bilangan itu, aku mengerti semua apa yang engkau rasakan. Hatiku pilu ketika melihat tatapan kosong itu menatap kepada setiap orang, sekali lagi tatapan dingin. Kau tak terlihat memiliki semangat hidup lagi, bahkan seharian itu kau tak menyentuh makanan apapun. Kakek mencoba menghiburmu, mengatakan bahwa semua ini bukan salahmu, mengatakan bahwa semua ini takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Mengatakan bahwa kau tak bisa seperti ini, masih ada aku tanggung jawabmu. Dan sekali lagi kau hanya bisa diam, mematung kosong.

Walaupun kau selalu mengurung diri di kamar, tak pernah mengajakku berbicara, kau tak pernah lupa menyiapkan sarapan untukku. Namun hal itu seperti rutinitas kosong untukmu, menyiapkan makanan, menaruhnya di meja makan, dan kau kembali mengurung diri di kamarmu.

Seminggu setelah pemakaman cinta pertamamu, kakek dan nenek mengajakku ke rumah mereka, berkata bahwa engkau perlu waktu untuk sendiri. Awalnya aku menolak karena aku tak ingin jauh darimu, namun mereka berkata hanya 2 minggu sampai ayahmu menjemputmu di sana. Akupun mengangguk walau aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian dengan kondisi seperti itu.

Apakah engkau ingat, hari itu aku mengetuk pintu kamarmu ingin berpamitan denganmu namun engkau tak jua membukanya. Aku berpamitan di depan pintu kamarmu seraya berkata agar engkau menjemputku setelah 2 minggu lamanya. Namun sekali lagi kau tetap diam di dalam kamarmu, tak bergeming.

Di rumah kakek, aku melakukan rutinitasku seperti biasa. Diantar dan dijemput oleh supir ke sekolah lalu kembali ke rumah mereka. Setiap hari aku berharap agar dua minggu bisa berlalu dengan cepat, menunggu engkau menjemputku. Karena aku tak tahan jauh darimu, jauh dari cinta pertamaku. Namun harapan itu seakan semakin terkikis oleh waktu. Sudah dua minggu lebih namun belum ada tanda-tanda bahwa engkau akan menjemputku. Tiga minggu berlalu hingga empat minggu lebih engkau tak kunjung datang menjemputku. Mungkinkah engkau tidak tahu jika saat itu aku menginap di rumah kakek? Saat itu aku bertanya-tanya apakah engkau benar-benar lupa?.

Hingga suatu waktu ketika 2 bulan berlalu, waktu itu aku pulang dari sekolah dijemput oleh supir kakek. Apakah kau tahu ketika tiba di rumah kakek dan melihat mobilmu terparkir disana, sungguh waktu itu hatiku merasa sangat senang walaupun ada sedikit rasa kecewa.

Apakah kau tahu waktu itu aku berencana berpura-pura untuk ngambek kepadamu. Karena itulah aku berencana lewat pintu belakang dan diam-diam masuk ke dalam kamar, berharap engkau membujukku untuk pulang bersamamu. Namun langkahku tiba-tiba terhenti ketika ingin berlalri masuk ke kamar aku melihatmu sekilas sedang berlutut di hadapan kakek dan nenek. Sungguh waktu itu aku sangat terkejut melihatmu seperti itu. Segera aku menyembunyikan diri di balik tembok yang jaraknya tak jauh dari ruang tamu.

Apakah kau tahu perkataanmu waktu itu sungguh sangat mengena di hatiku, hingga aku tak bisa melupakan perkataanmu itu hingga sekarang. Waktu itu kau berlutut di hadapan kakek dan nenek dengan luapan air mata seraya berkata, “Maafkan aku, aku sungguh suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab. Ini semua salahku, istriku meninggal karenaku dan setelah itu aku menjadi ayah yang tak bertanggungjawab karena tak ingin mengasuh anakku dikarenakan rasa bersalahku terhadap istriku. Aku ayah yang tak berguna karena setuju meninggalkan anakku dengan kalian”.

Jantungku lalu berdetak kencang, aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin engkau berencana meninggalkanku di rumah kakek untuk selamanya? Bagaimana mungkin kau tidak ingin mengurusku? Apakah aku semerepotkan itu bagimu?. Air mataku mengalir di wajahku,. Aku lalu perlahan masuk ke kamar, menghapus air mataku. Saat itu aku mencoba untuk memahami situasi, mencoba mengerti situasi yang engkau hadapi, mencoba untuk ikhlas meninggalkanmu demi kebaikanmu.

Namun, apakah kau tahu.....



To be continued....



By: Shinz_ 

Komentar

  1. Gak sengaja nemu blogmu, bagus banget certanya na. Ternyata kamu bakat nulis juga ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segitu bagus dibilang tulisan gaje ya gimana kalo nulis serius ya, coba dong posting lanjutannya jadi pengen tau. Hehe

      Hapus

Posting Komentar

Apapun saran atau komentar teman-teman akan sangat membantu dalam mengembangkan isi blog ini nantinya. Thanks before. ^_^

Postingan populer dari blog ini

Tersenyumlah wahai hati yang bersedih

Tersenyumlah Wahai Hati yang Bersedih Ketika engkau tersandung duka, menangislah sekencangnya tak usah engkau menahannya. Ketika hatimu merasa sakit berteriaklah hingga hatimu tak bisa lagi berteriak. Biarkan dirimu merasakan kesedihan hatimu dan biarkan air matamu merasakan perihnya lukamu.

Teruntuk daun yang tak pernah berguguran

Teruntuk daun yang tak pernah berguguran Hidup, sesuatu hal yang terus berjalan entah sampai kapan. Hidup bagaikan sebuah roda yang terus bergerak maju. Ketika roda itu berputar, roda tersebut akan melintasi berbagai jalan yang tidak selalu sama. Entah itu menanjak, menurun, ataupun jalan yang berkelok, roda akan terus dapat melaluinya selama roda tersebut masih dalam keadaan utuh dan tidak rusak.

Best friend In Islam (Arti Sahabat)

Teman, menurut kalian teman itu apa? Sahabat itu apa dan yang bagaimana? Apakah mereka adalah orang-orang yang selalu ada disaat suka ataupun duka? Orang yang selalu memberikan bantuan? Ataukah orang yang menemani kita melakukan segala sesuatu hal bersama ?. Itu semua tergantung dari sejauh mana kita memahami pertemanan ataupun persahabatan itu sendiri.